LPSK Sesalkan Polemik Status Nazaruddin

Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi

JAKARTA | KompolmasTV Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyesalkan munculnya silang pendapat antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (PAS) soal status Justice Collaborator (JC) terpidana kasus korupsi Wisma Atlet M Nazaruddin.

Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi mengatakan, sengkarut ini bisa saja tidak terjadi apabila sedari awal UU Nomor 31 Tahun 2104 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dijadikan sebagai rujukan utama ketika menetapkan seseorang sebagai saksi pelaku atau lebih publik kenal dengan istilah JC.

Bacaan Lainnya

Menurut Edwin, UU 31/2014 telah mengatur pemenuhan hak JC yang berstatus sebagai narapidana. Dalam memenuhi hak narapidana seperti remisi, pembebasan bersyarat dan hak lainnya, LPSK diberikan wewenang memberikan rekomendasi tertulis kepada Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) agar narapidana mendapatkan penghargaan sesuai dijanjikan UU.

Dalam ketentuan ini, UU 31/2014 memerintahkan Menkumham menjalankan rekomendasi LPSK dengan sungguh-sungguh.

“Aturan tentang Saksi Pelaku atau JC ada di pasal 10A UU Nomor 31 Tahun 2014 yang terdiri dari 5 ayat, semuanya jelas,” kata Edwin, di Jakarta, Jum’at (19/6/2020).

UU tersebut juga mengatur bahwa LPSK merupakan lembaga satu-satunya yang diberi kewenangan memberikan rekomendasi status JC kepada pelaku pidana.

Kewenangan LPSK dalam memberikan rekomendasi JC kepada penegak hukum bisa dimulai dari proses penyidikan.

“Jadi bisa disimpulkan, apabila penuntut umum dalam tuntutannya menyatakan terdakwa adalah JC tanpa didasari rekomendasi LPSK, maka hal tersebut tidak sejalan dengan hukum acara yang telah diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 2014, yang mensyarakatkan rekomendasi LPSK,” pungkas Edwin.

Pada kesempatan sama, Wakil Ketua LPSK Manager Nasution mengatakan, dirinya tidak menampik bila memang sudah ada aturan tentang JC sebelum UU 31/2014 lahir, seperti Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011, Peraturan Bersama Menkumham, Jaksa Agung, Kapolri, KPK dan LPSK tahun 2011, serta PP Nomor 9 Tahun 2012.

Namun, aturan tersebut dinilai sebagai peraturan yang bersifat mengisi kekosongan hukum pada saat itu.

Dengan demikian, kata dia, muatan pengaturan JC yang ada pada aturan lain seperti dalam aturan tadi, tidak relevan diterapkan setelah UU 31/2014 terbit.

Namun, dalam hal rumusan yang belum diatur dalam UU atau peraturan pelaksanaan, maka masih bisa dirujuk, sepanjang tidak bertantangan dengan UU 31/2014.

Selain itu, menurut Nasution, penggunaan istilah yang seragam juga penting untuk menyatukan pandangan aparat penegak hukum. UU 31/2014 hanya mengenal istilah Saksi Pelaku, sedangkan SEMA Nomor 4 Tahun 2011 dikenal istilah Saksi Pelaku yang Bekerja Sama atau juga dikenal dengan istilah JC.

Penggunaan istilah yang berbeda-beda oleh aparat penegak hukum akan memunculkan potensi mengaburkan makna JC itu sendiri, serta membuka peluang terjadinya penyimpangan.

Karenanya, Nasution menyarankan sebaiknya penggunaan istilah merujuk UU 31/2014.

Agar kasus semacam ini tidak terulang, Nasution menilai perlu adanya kesamaan pandangan dalam mekanisme penetapan, penghargaan, dan perlindungan terhadap JC dari seluruh aparat penegak hukum, mengingat pentingnya peranan Saksi Pelaku, khususnya dalam upaya pemberantasan korupsi.

LPSK, kata dia, telah meminta kepada Presiden Joko Widodo melalui Menkumham untuk menerbikan Peraturan Presiden terkait koordinasi aparat penegak hukum dengan LPSK guna pengaturan soal Saksi Pelaku ini.[rif]

Pos terkait